Menyusuri kota kota jiwa

Posted: 21 November 2008 in 1
Tag:

“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai. Masuklah ke dalam golongan hamba-hambaKU, dan masuklah ke dalam surgaKU.” [Q.S. Al Fajr (89): 27-30].

Segala puji hanyalah kepunyaan Allah, yang telah menjadikan sebab untuk segala perkara, serta menurunkan kitab (Al Quran) yang mengagumkan, yang mengandung segala hikmah dan keterangan, kepada hambaNya. Mudah-mudahan sholawat dan salam senantiasa di limpahkan kepada Sayyidina Muhammad SAW, makhluk yang paling mulia. Beliau merupakan manusia paling suci nasab dan keturunannya. Sholawat dan salam, juga mudah-mudahan senantiasa dilimpahkan kepada keluarga dan para sahabatnya yang mulia lagi terhormat.

Mulai hari ini aku mencoba untuk menghadirkan beberapa buah karya dari para Kekasih Allah dengan asa semoga abjad yang terangkai menjadi kalimat-kalimat penuh makna dapat menjadi penyejuk jiwa dan pelepas dahaga kita dalam menjalani hidup di dunia yang hanya sesaat dan penuh dengan tipu daya ini.

Sebagai preambule, maka berikut adalah sebuah karya Syekh Muhammad Shadiq Naqsyanbandi Ezinjani, semoga Allah menyucikan ruhnya. Al Fathihah.

<<<>>>

MENYUSURI KOTA-KOTA JIWA
[Syekh Muhammad Shadiq Naqsyanbandi Ezinjani]

Kala aku mengembara di dunia fana ini, Allah menunjukiku jalan yang lurus. Ketika menelusuri jalan itu di antara tertidur dan terjaga, seolah-olah dalam mimpi, aku tiba di sebuah kota yang amat gelap. Kota itu sangatlah luas sehingga aku tidak dapat melihat atau memperkirakan batasnya. Kota ini dihuni olah manusia dari beragam bangsa dan ras. Begitu sesaknya jalan-jalan, orang sulit berjalan. Begitu gaduhnya, sehingga orang sulit mendengar ucapan orang lain. Semua perbuatan buruk dari segala mahkluk, semua dosa yang kuketahui maupun tidak kuketahui, mengelilingiku. Dalam rasa takjub dan kagum, aku menyaksikan pemandangan aneh.

Nun jauh di sana, di bagian tengah kota ini, ada kota lain dengan dinding yang tinggi dan besar.

Apa yang kusaksikan di sekelilingku membuatku berpikir bahwa sejak semula cahaya matahari kebenaran tak pernah menerangi kota ini. Tidak hanya langit, lorong-lorong, dan rumah-rumah di kota ini yang berada dalam gelap gulita, tetapi para pendudknya bagaikan kelelawar, mempunyai pikiran dan hati sepekat malam. Sifat dan perbuatan mereka laksana anjing-anjing liar. Saling menyalak dan menggigit satu sama lain hanya demi memperebutkan sesuap makanan dengan penuh nafsu dan amarah. Merekapun saling mencabik. Kesenangan mereka hanyalah bermabuk-mabukkan dan berhubungan seks tanpa rasa malu, tanpa membedakan pria dan wanita, istri dan suami, dan sebagainya. Berdusta, menipu, mengumpat, memfitnah, dan mencuri menjadi kebiasaan mereka tanpa rasa peduli kepada yang lain, tanpa sadar atau takut kepada Allah. Banyak yang mengaku muslim. Sebenarnya, sebagian dari mereka dianggap sebagai orang bijak – para syekh, guru, ulama, dan dai.

Sebagian mereka yang mengetahui perintah-perintah Allah, tentang yang halal dan haram, berupaya mengatasi hal itu dan menemukan kepuasan di dalamnya dan tak lagi berhubungan dengan penduduk kota itu. Para penduduk kota tidak bersikap ramah terhadap mereka. Aku dengar mereka berlindung di dalam kota berdinding yang kulihat berada di bagian tengah alam ini.

Aku tinggal di bagian luar ini untuk beberapa saat. Selama waktu itu, aku bertemu dangan seseorang yang mendengarkan aku dan memahami apa yang kukatakan. Dia memberitahu aku bahwa ia adalah ammarah, kota yang angkuh, kota kebebasan, di mana setiap orang mengerjakan apa yang membuatnya senang. Aku bertanya mengenai keadaan mereka. Dikatakannya bahwa itulah kota tempat bersenang-senang yang bersumber dari sikap lalai dan alpa. Dalam kegelapan yang menyelimutinya, tiap-tiap orang mengira bahwa dialah satu-satunya orang. Aku bertanya kepadanya mengenai nama pimpinan mereka. Dia menjawab, pimpinannya bernama ‘Aql al-Ma’asy. Dia adalah ahli nujum, dukun, pengatur segala sesuatu, dokter yang menyembuhkan orang yang nyaris mati, raja berilmu yang tiada bandingnya di dunia ini. Para penasihat dan menterinya disebut logika. Putusannya ditetapkan atas dasar Hukum Akal Sehat Kuno. Pelayannya disebut imajinasi dan angan-angan. Dia mengatakan bahwa semua penduduk setia kepada pemimimpin mereka, tidak hanya menghormati dan menghargai dia dan pemerintahannya, tetapi juga mencintainya, karena mereka semua merasa memiliki sifat, kebiasaan, dan perilaku yang sama.

Aku, yang memiliki pemikiran yang sama, dan dengannya mengetahui bahwa sesungguhnya raja kota ini adalah guru yang sempurna dari semua ilmu di dunia ini, ingin mempelajari ilmu-ilmu itu untuk menjadi kaya dan terkenal. Aku tinggal untuk beberapa waktu melayani si raja dan belajar darinya mengenai banyak hal yang mencerdaskan. Aku belajar perdagangan, politik, ilmu-ilmu kemiliteran, pertukangan, hukum, dan seni untuk menghormati manusia. Aku menjadi termasyhur. Ketika orang-orang menunjuk aku dengan jari mereka dan berbicara tentang diriku, egoku merasa senang. Karena semua bagi diriku sepenuhnya berada di bawah pengaruh duniawiku, semua itu mendapatkan tenaga untuk menyenangkan egoku dan ingin cepat-cepat menghabiskan tenaga itu untuk mendapatkan kesenangan-kesenangan duniawi dan hasrat-hasrat berahi, tanpa peduli apakah semua itu melukai orang lain atau bahkan diriku sendiri.

Kadang terbersit dalam diriku bahwa semua ini keliru, tetapi aku tak berdaya dan tak mampu mencegahnya. Bagian diriku yang insaf itu disakiti dan ingin keluar dari gelapnya kota ini. Suatu hari, ketika rasa sakit itu kian parah, aku pergi menemui guruku, sang raja, dan dengan tanpa rasa takut aku bertanya, “Mengapa para ilmuwan di alammu tidak pernah mengamalkan ilmu mereka dan takut kepada Allah? Mengapa tak seorangpun di kota ini yang takut kepada azab Allah, padahal mereka takut terhadap hukumanmu? Mengapa tidak ada cahaya di sini, di luar atau di dalam hati masyarakat? Bagaimana ucapanmu yang terlihat seperti manusia, tetapi sifat mereka tak ubahnya binatang buas, dan jahat?”

Dia menjawab, “Akulah -orang yang sangat mampu mencari keuntungan pribadi di dunia ini, meskipun keuntunganku adalah kerugian bagi mereka- yang mereka teladani. Aku mempunyai wakil di tengah-tengah mereka. Merekalah pelayanku dan pelayan wakil-wakilku. Tetapi, aku juga punya guru yang membimbingku: setan. Tak seorang pun di sini yang mampu mengubah jalannya, dan semua senang dan mengira diri mereka lebih baik dari yang lain. Tak ada yang akan berubah, dan karena itu, mereka tidak akan berubah.”

Tatkala kudengar itu, aku ingin meninggalkan kota itu dan melarikan diri. Tetapi, karena mengetahui kekuatan raja dan kekuasaannya atas segala sesuatu, aku meminta ijin darinya untuk pergi. “Wahai bagindaku yang perkasa,” kataku, “Engkau telah banyak berbuat bagi hambamu yang hina ini dan telah memberiku semua yang kumiliki. Betapa senangnya hidup di bawah pemerintahanmu ! Kauberikan aku pakaian mewah, kau berikan teman bersenang-senang dan bermain. Minuman keras dan judi tak kau larang. Telah kurasakan semua kesenangan, dan telah kuterima semua bagianku. Tidakkah engkau tahu bahwa kedatanganku ke kota ini sebagai musafir? Ijinkan aku pergi ke istana besar itu yang kulihat di tengah-tengah kotamu.”

Sang raja mengatakan, “Aku juga penguasa istana itu. Kawasan itu disebut Lawwamah, penyesalan atau menyalahkan diri sendiri, tetapi penduduknya berbeda dengan kami yang ada di sini. Di kota kami yang durhaka ini, sesembahan kami adalah setan. Dia ataupun aku tidak menyalahkan mereka atas apa yang mereka lakukan. Oleh karena itu, tak ada yang menyesali apa yang mereka kerjakan, karena kami hidup di dalam khyalan. Di kota Lawwamah, imajinasi tidak mempunyai kekuatan penuh. Mereka juga berbuat dosa- mereka berzina, mereka puaskan berahi mereka dengan kaum pria maupun wanita, mereka minum minuman keras dan berjudi, mencuri dan membunuh, bergunjing dan memfitnah seperti yang kami lakukan- tetapi mereka sering menyadari apa yang telah mereka perbuat, menyesal, dan bertobat.”

Segera setelah aku berbicara dengan guruku, Kecerdasan, aku berlari ke gerbang Kota Lawwamah. Di depan gerbangnya tertulis al-ta’ibu min al-dzanbi ka-man la dzanba lahu, “orang yang bertobat dari dosa seperti orang yang tak pernah berbuat dosa.”

Kubuka pintu gerbang dengan bertobat atas dosa-dosaku, dan masuk ke dalam kota itu.

Kulihat kota itu memiliki penduduk yang jauh lebih sedikit dibandingkan dengan Kota Kegelapan yang telah pernah kusinggahi. Dapat kubilang penduduknya hanyalah separuh dari kota yang telah aku tinggalkan itu.

Setelah aku menetap di dalam selama beberapa waktu, aku berjumpa dengan seorang alim yang mengenal dan menguasai kitab suci Al Quran. Aku mengunjunginya dan mengucapkan salam kepadanya. Dia menjawab salamku dan mendoakan aku. Meskipun telah dikatakan kepadaku oleh penguasa Kota Kegelapan bahwa dia juga berkuasa di sini, namun aku tetap menanyakan kepada guruku ihwal nama pemimpin mereka. Dia menegaskan bahwa mereka berada di bawah pemerintahan Akal, tetapi mereka mempunyai administratur sendiri, yang bernama Arogansi, Kemunafikan, Keras Kepala, dan Fanatisme.

Di kalangan penduduk banyak terdapat ilmuwan, sebagian besar mereka tampaknya bijaksana, tekun, saleh, dan baik. Aku bersahabat dengan mereka dan aku tahu, mereka menderita penyakit arogansi, egotisme, dengki, ambisi, keras kepala, dan tidak jujur dalam bersahabat. Mereka saling bermusuhan dan saling menipu. Hal paling baik yang bisa kukatakan mengenai mereka adalah bahwa mereka melaksanakan shalat dan berusaha mengikuti perintah Allah karena mereka takut terhadap azab Allah dan neraka, dan mengharapkan kehidupan abadi dan bahagia di dalam surga.

Aku bertanya kepada salah seorang dari mereka mengenai Kota Kegelapan yang ada di luar dinding pembatas itu, dan mengeluhkan ihwal penduduknya. Dia mengiyakan keluhanku dan mengatakan bahwa penduduk kota itu terdiri atas kaum kafir yang merusak, durhaka dan gemar membunuh. Mereka tidak mempunyai iman dan tidak pernah melaksanakan shalat. Mereka pemabuk, pezina, pejantan. Mereka semuanya tidak berkesadaran dan lalai. Tetapi, dari waktu ke waktu, melalui petunjuk yang misterius, mereka mengarah ke Kota Lawwamah. Mereka kemudian menyadari apa yang telah mereka perbuat, menyesal, bertobat, dan memohon ampun. Di kota mereka, demikian dia mengatakan, mereka tidak mengetahui apa yang mereka lakukan. Akibatnya, mereka tidak pernah merasa menyesal atau memohon ampunan. Karena itu, mereka tidak tolong menolong, dan tak seorang pun membantu mereka.

Ketika pertama kali aku tiba di Kota Lawwamah, kulihat di tengah-tengahnya ada istana lain. Aku bertanya kepada salah seorang penduduknya yang berilmu mengenai hal itu. Dia mengatakan bahwa kota itu diberi nama Mulhimah, Kota Cinta dan Ilham. Aku bertanya mengenai pimpinannya. Pemimpinnya bernama ‘Aql al-Ma’ad, si Bijak Yang Mengenal Allah. Raja ini, kata si informan itu, mempunyai seorang perdana menteri bernama Cinta.

“Seandainya ada salah seorang dari kamu memasuki Kota Cinta dan Ilham,” lanjutnya, “Kami tidak akan menerimanya kembali di kota kami. Sebab, siapapun yang pergi ke sana akan menjadi serupa dengan semua penduduk kota itu –semuanya tertarik kepada perdana menteri itu. Dia jatuh cinta kepadanya, dan rela menyerahkan segalanya- semua yang dimilikinya, harta, keluarga, anak-anak, bahkan nyawanya- demi perdana menteri yang bernama Cinta itu. Sultan kami, Yang Cerdas, memandang atribut ini sebagai hal yang sama sekali tidak dapat diterima. Dia mengkhawatirkan pengaruh orang-orang yang mempunyai sifat ini, karena kesetiaan dan perbuatan mereka tampaknya tidak masuk akal dan tidak bisa dipahami oleh pikiran sehat.”

“Kami mendengar bahwa penduduk kota itu berdoa kepada Allah seraya bersenandung dan bernyanyi dengan diiringi seruling, tamborin dan drum, dan selama melakukan hal itu mereka kehilangan rasa dan masuk ke dalam akstase. Para pemimpin agama dan teolog kami memandang ini sebagai hal yang haram menurut kaidah ortodoks kami. Oleh karena itu, tak seorang pun dari mereka yang ingin bermimipi menginjakkan kakinya di Kota Cinta dan Ilham.”

Tatkala kudengar hal itu, aku sangat ingin meninggalkan Kota Lawwamah, dan berlari ke pintu gerbang Kota Cinta dan Ilham yang penuh berkah itu. Di pintunya kubaca tulisan bab al-jannati maktub: la ilaha illa Allah. Kubaca frasa la ilaha illa Allah dengan suara keras –“Tidak ada tuhan kecuali Allah”- lalu bersujud dan memanjatkan syukur. Pada saat itulah pintu terbuka dan aku pun masuk.

Tak lama berselang, kutemukan sebuah rumah kecil milik seorang fakir. Di dalamnya kulihat orang-orang berpangkat dan rakyat jelata, kaya dan miskin, bergabung menjadi satu. Kulihat mereka saling mencintai, menghormati, tolong menolong dengan wajah senantiasa ceria. Mereka bercengkrama dan bernyanyi. Lagu dan ucapan mereka sangat menggugah, indah, dan selalu mengenai Allah dan hari kiamat, serta hal-hal yang bersifat spiritual. Tak ada cemas dan duka cita, seolah-olah hidup di alam surga. Tak kudengar atau kulihat apa pun yang berkesan perselisihan atau pertengkaran yang menyakitkan atau melukai. Tak ada tipu daya, kejahatan, dengki atau fitnah. Aku tiba-tiba merasakan kedamaian, kebahagiaan, dan kegembiraan berada di tengah-tengah mereka.

Kulihat ada seorang tua yang berwajah tampan. Wajahnya memancarkan kedewasaan dan kebijaksanaan. Aku tertarik padanya dan langsung mendatanginya seraya bertanya, “Wahai sahabatku, aku adalah pengelana miskin dan sekaligus sakit. Aku mencari obat untuk menyembuhkan penyakit kegelapan dan kelalaianku. Adakah tabib di Kota Cinta dan Ilham ini yang bisa menyembuhkan diriku?”

Orang itu terdiam untuk beberapa saat. Kutanyakan namanya. Dia mengatakan kepadaku, namanya adalah Hidayah, Petunjuk. Lalu ia berkata, “Nama panggilanku adalah Kejujuran. Sejak azali tak satu pun kata dusta yang keluar dari mulutku. Tugas dan kewajibanku adalah menunjukkan jalan kepada orang yang benar-benar ingin menyatu dengan Sang Kekasih.”
“Kepadamu kukatakan”, Beribadahlah kepada Tuhanmu sehingga dating kepadamu keyakinan [Q.S. al-Hijr (15): 99].
Sebutlah nama Tuhanmu dan beribadahlah kepadaNya dengan penuh ketekunan [Q.S. al-Muzzammil (73): 8].

“Engkau juga pecinta yang tulus: ‘Dengarkan aku dengan telinga hatimu.’ Ada empat wilayah di Kota Cinta dan Ilham ini yang harus kamu datangi. Keempat wilyah itu saling berjalin berkelindan.”

“Bagian luarnya,” lanjutnya, “disebut Muqallid, wilayah para pembebek. Tabib ahli yang kamu cari untuk menyembuhkan penyakit-penyakitmu tidak ada di dalam wilayah itu. juga tak ada kios obat yang menyediakan obat-obatan bagi penyakit lalai, gelapnya hati, dan kemusyrikan terselubung. Meskipun akan kau temukan banyak orang yang mengaku sebagai tabib penyakit hati –berpenampilan semacam itu, dengan mengenakan jubah, memakai serban besar, menyatakan diri sebagai orang bijak serta menyembunyikan kebodohan, kebejatan moral, dan perangai buruk mereka; tak mampu membuktikan apa yang mereka nyatakan; yang mencari ketenaran dan mengejar-ngejar dunia- mereka sendiri sebenarnya tengah menderita sakit. Mereka menyekutukan Allah, dan menjadi guru karena membebek.”

“Mereka,” lanjutnya, “sembunyikan tipu muslihat, kemunafikan maupun sifat dengki mereka. Mereka cerdas, tangkas, ceria, dan humoris. Meskipun tampaknya lidah mereka mengucapkan doa nama-nama Allah, dan kamu temukan mereka sering berada di tengah-tengah para zahid, namun pikiran mereka, yang mempengaruhi mereka, tidak mengantarkan mereka untuk menyaksikan pengaruh dan manfaat doa mereka. Oleh karena itu, takkan kamu dapati obat dari mereka untuk menyembuhkan penyakit kelalaian dan kealpaan.”

“Kamu harus meninggalkan wilayah para pembebek ini dan menuju wilayah Mujahid, wilayah para pejuang,” tegas orang itu.

Kuturuti nasihat orang itu dan pergi ke wilayah para pejuang. Orang-orang yang kutemui di sana terlihat lemah dan kurus, baik hati, penuh pertimbangan, bersyukur: tekun mendirikan shalat, taat, berpuasa, bertafakur, dan merenung. Kekuatan mereka terletak pada cara hidup yang selaras dengan pengetahuan mereka. aku menjadi dekat dengan mereka. Mereka telah meninggalkan semua sifat buruk yang bersumber dari egoisme, kecongkakan, dan baying-bayang kelalaian. Mereka telah bersungguh-sungguh menjadi hamba, ridha kepada Tuhan mereka dan menerima keadaan mereka dengan ikhlas. Aku tinggal di wilayah para pejuang itu selama bertahun-tahun. Aku mengerjakan apa yang mereka kerjakan dan hidup seperti mereka, seraya mencermati bagaimana aku berbuat dan bagaimana aku hidup, dengan tak membiarkan sekejap pun waktu berlalu dalam kelalaian. Aku belajar dan bersikap sabar dan tabah, dan belajar meridhai nasibku, dan aku pun ridha dan ikhlas.

Siang malam aku berusaha keras dengan egoku, tetapi aku masih berada dalam politeisme dengan begitu banyak “aku” dan pertempuran antara “aku-aku” itu, meskipun semuanya berhadapan dengan satu Allah. Hal ini, yakni penyakit syirik khafiku – yang membentuk banyak “aku” sebagai sekutu Allah –menjadi baying-bayang berat di dalam hatiku, menyembunyikan kebenaran, dan membuatku tetap lalai.

Aku bertanya kepada tabib-tabib di wilayah itu, seraya memohon kepada mereka. kuceritakan penyakitku kepada mereka, kemusyrikan terselubung, sikap lalai yang parah, kegelapan hati, dan meminta bantuan. Mereka berkata kepadaku, “bahkan di tempat orang-orang yang berperang melawan ego mereka ini pun, tak ada obat bagi penyakitmu, karena Dia bersamamu dimanapun kamu berada.” [Q.S. al-Hadid (57): 4]

Kemudian mereka menasihatiku untuk pergi menuju istana Muthmainnah, Kota Kedamaian dan Ketenangan. Di dekat istana itu terletak wilayah yang disebut Munajat wa Muraqabah, berdoa dan merenung. Mungkin di sana, kata mereka ada seorang tabib yang bisa menyembuhkan diriku.

Ketika aku tiba di Kota Muraqabah, kulihat para penduduknya tenang dan damai, menyebut Allah dan nama-namaNya yang indah. Masing-masing dari mereka mempunyai anakhati yang telah dilahirkan. Mereka berdiri, khusyuk di hadapan Tuhan, diam, murung, bersedih, penuh rendah hati. Meskipun paras lahir mereka terlihat hancur dan rusak, hati mereka cemerlang dan bercahaya.

Cara hidup mereka baik dan terpuji. Mereka nyaris tak berbicara satu sama lain karena takut mengusik perhatian seseorang dari Yang Esa yang kehadiranNya mereka alami sendiri. Atau, mereka menghalangi orang lain dari perenungan yang mendalam. Cahaya bagaikan kehormatan bagi mereka, namun mereka sangat takut menjadi beban orang lain.

Kuhabiskan waktu bertahun-tahun di wilayah tafakur dan perenungan ini. Saya mengerjakan apa yang mereka kerjakan, dan sesungguhnya kukira aku akhirnya sembuh dari kelalaian, kemusyrikan, dan kealpaan. Tetapi, aku belum tersembuhkan dari dualisme terselubung antara “aku” dan “Dia” yang tetap menjadi beban berat di dalam hatiku.

Air mataku mengucur deras. Dengan penuh takjub, aku terperosok ke dalam keadaan aneh ketika samudera kesedihan melingkupiku. Aku ingin tenggelam di lautan itu. Tak kutemukan jalan lain kecuali kematian. Tetapi, aku tak dapat berbuat apa-apa, aku tidak memiliki kehendak, bahkan kehendak untuk mati.

Saat aku berdiri di sana tanpa daya, sedih, dalam keadaan ekstase, muncullah si guru tampan, sosok yang kujumpai pertama kali di kawasan yang asing ini, guru yang disebut Hidayah, Petunjuk. Dia menatapku dengan penuh kasih, “Wahai hamba malang yang diperbudak oleh diri sendiri di pengasingan tanah asing ini! Wahai pengembara yang jauh dari kampung halaman! Kamu tidak akan menemukan obat penyakitmu di tempat Ruh ini. Tinggalkan tempat ini. Pergilah ke nun jauh di sana, di dekat gerbang istana Muthmainnah. Nama tempat itu adalah Fana’ –peniadaan diri. Di sana akan kau temukan tabib-tabib yang telah pernah merasakan fana’, yang mengetahui rahasia “fa-afnu tsumma afnu tsumma afnu fa-abqu tsumma abqu tsumma abqu” –“tiadakanlah dirimu, tiadakanlah dirimu, tiadakanlah dirimu, agar engkau kekal, agar engkau kekal, agar engkau kekal buat selama-lamanya.”

Tanpa menunggu lebih lama, aku pergi ke wilayah fana’. Kulihat penduduknya bisu, tidak berkata-kata, seolah-olah mati, tanpa tenaga untuk mengucapkan sepatah kata pun. Mereka telah meninggalkan harapan untuk beroleh manfaat dari ucapan dan benar-benar telah menyerahkan jiwa mereka kepada malaikat maut. Mereka sama sekali tidak memedulikan kehadiranku.

Tak kulihat mereka melakukan apa-apa kecuali shalat lima waktu dalam sehari. Mereka telah kehilangan konsep tentang perbedaan antara dunia dan akhirat. Mereka melupakannya. Bagi mereka, derita dan bahagia tak ada bedanya. Mereka tidak lagi merasakan perbedaan antara hal-hal yang bersifat material dan spiritual. Tak ada pikiran yang menyita mereka. Tak ada sesuatu yang mereka ingat atau cari. Kebutuhan dan hasrat telah menjadi barang asing bagi mereka. mereka bahkan telah berhenti memohon kepada Allah apa yang mereka inginkan.

Aku tinggal bersama mereka selama beberapa tahun. Kukerjakan apa yang mereka kerjakan. Aku benar-benar meniru mereka, tetapi aku tidak tahu keadaan batin mereka. Oleh karena itu, aku tidak dapat melakukan apa yang mereka lakukan di dalam batin mereka.

Bahkan, di tempat itu, di tengah-tengah mereka, sakitku terasa bertambah parah. Tetapi, ketika aku ingin menjelaskan gejala penyakitku, aku tidak dapat menemukan tubuh atau eksistensi, bahkan sekadar mengatakan “inilah tubuhku” atau “inilah aku”. Kemudian aku tahu bahwa mengatakan “wujud itu milikku” adalah kata-kata dusta, dan dusta adalah dosa bagi setiap orang. Kemudian aku tahu bahwa menanyakan pemilik sesungguhnya dari apa yang menjadi “milikku” adalah syirik terselubung yang aku sendiri telah bertekad untuk mencampakkannya. Maka, apa yang harus dilakukan?

Dalam rasa takjub, kulihat diriku terbebas dari semua keinginanku. Aku menangis dan terus menangis. Dalam keputusasaanku, seandainya aku memanggilNya, “wahai Tuhanku,” maka yang ada menjadi dua –aku dan Dia, aku dan Dia yang kepadaNya aku memohon pertolongan, kehendak dan Yang Dikehendaki, hasrat dan Yang Dihasrati, pecinta dan Sang Kekasih. Aku tidak tahu jalan kembali.

Ratapan sedih itu menggugah malaikat ilham yang ditugaskan oleh Tuhannya untuk mengajarkan orang yang mencintai Allah. Dengan seijin Tuhannya, dia membacakan kepadaku bagian dari kitab ilham Illahi yang berbunyi: “Pertama, fanakanlah perbuatanmu.”

Dia berikan itu kepadaku sebagai hadiah. Ketika kuulurkan tangan untuk menerimanya, kulihat tak ada tangan. Ia merupakan susunan air, tanah, eter, dan api. Aku tak mempunyai tangan untuk mengambilnya. Aku tak memiliki tenaga untuk berbuat.

Hanya Yang Esa yang memiliki kekuatan, Yang Maha Perkasa. Apa pun perbuatan yang terjadi melalui diriku, ia milik Pelaku Mutlak. Semua kekuatan, semua perbuatan, kunisbahkan kepadaNya, dan kutinggalkan semua yang terjadi pada diriku dan melalui diriku di dunia ini. Aku tahu, karena aku diajarkan oleh malaikat ilham, apa yang dimaksud dengan sirnanya perbuatan seseorang. Segala puji hanya bagi Allah.

Dalil kewajiban mengingkari perbuatan seseorang di jalan kebenaran itu adalah ayat suci Al Quran: Qul kullun min ‘indillahi –katakanlah olehmu (hai Muhammad) bahwa semua (perbuatan) itu dari Allah [Q.S. an-Nisa’ (4): 78]

Aku buta huruf dan belum pernah belajar, tetapi Allah Yang Maha Tinggi dalam manifestasiNya sebagai Kebenaran Tertinggi telah memberiku kemampuan dan kekuatan untuk mengajar. Karena apa yang diriwayatkan disini adalah peristiwa-peristiwa yang terjadi pada diriku, pengalaman yang menghadirkan keadaan pikiran dan spirit, dan seperti kata peribahasa, al-halu la yu’rafu bil-qawl (keadaan tidak dapat dituturkan melalui kata-kata), amak tidaklah mungkin mengucapkan keadaan semacam itu untuk dapat dicerna dan dibayangkan orang lain.

Kemudian aku ingin, dengan ijin Allah dan bantuan malaikat ilham, untuk meninggalkan semua sifatku –yakni sifat-sifat yang membentuk kepribadian seseorang. Ketika aku memandang, yang kulihat bukanlah milikku. Ketika aku berkata-kata, yang kuucapkan bukanlah milikku. Maknanya juga bukan milikku. Aku benar-benar tak berdaya, tercerabut dari semua atribut, yang terlihat maupun yang tak terlihat, yang membedakan aku dari semua sifat lahir dan batin yang telah sungguh-sungguh membentu “aku”.

Dengan semua raga, perasaan, dan ruhku, aku membayangkan diriku sendiri sebagai esensi murni. Lalu kurasakan bahwa inipun dualitas. Apa yang harus aku lakukan, hubungan apa yang aku miliki, terhadap sesuatu yang bukan milikku? Aku lagi-lagi menjadi lemas.

Bahkan esensiku pun tercabut dari diriku sendiri. Padahal, aku masih saja mendambakan dan merindukanNya. Kurasakan makna Wa talibu ‘ayni ‘abdi –orang yang merindukan Aku adalah hambaKu yang sejati.

Betapa menyedihkan bagiku, aku sama sekali tidak tahu apa yang harus kulakukan. Tanpa daya, aku mengharapkan penyatuan. Wallahu bikulli syay’in muhith –Allah Maha Meliputi segala sesuatu.

Huwa al-awwalu wa al-akhiru wa al-zhahiru wa al-bathinu –Dialah yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zahir dan Yang Bathin.

Wa huwa bi kulli syay’in ‘alim –dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu yang ada di relung hatiku.

Bahkan, setelah itu, aku berharap agar rahasia mutu wabla an tamutu, “matilah sebelum kamu mati”, diungkapkan bagiku. Oh, betapa menyedihkannya, ini pun lagi-lagi merupakan dualisme terselubung antara aku dan Yang Esa yang kurindukan. Ini pun tentu bukanlah kebenaran.

Apa gerangan penyakit yang menimbulkan rasa sakit tiba-tiba ketika aku bergerak, berkehendak, rindu, memohon pertolongan, berdoa dan meminta ini? Keadaan aneh apa yang tengah kurasakan dan sulit diatasi ini?

Tanpa daya, kuserahkan semua ini kepada Pemiliknya dan aku menanti di pintu ajal, tanpa rasa, tanpa pemikiran atau perasaan, seolah-olah mati, menanti kematian menjemputku melalui setiap embusan nafas. Aku tetap berada dalam keadaan semacam itu dan tak tahu sudah berapa lama.

Tak lama kemudian terdengar nasihat istafti qalbak –“tanyakan kepada hatimu,” kukatakan kepada hatiku untuk menunjuki aku. Dia berkata “selama ada jejakmu di dalam dirimu, engkau tidak akan mendengar seruan Tuhanmu, Irji’ –kembalilah kepadaKU!”

Jika seekor kucing terperosok ke dalam sumur garam dan tenggelam di dalamnya, dan seketika itu juga tubuhnya menjadi garam, jika masih ada sehelai bulunya yang tersisa, dapatkah garam itu dimakan? Betapa sering dan lama para teolog berselisih dan membahas persoalan itu! Sebagian mengatakan bahwa meskipun tersisa sehelai bulu, garam itu tetaplah bersih, karena bangkai kucing itu kini telah menjadi garam; dan sebagian lagi mengatakan bahwa sehelai bulu sama nilainya dengan keseluruhan tubuh kucing itu. Oleh karena itu, garam itu najis dan haram memakannya.

Kurasakan kebenarannya, dan aku berharap agar jejak diriku di dalam diriku mati. Kubenamkan jejak itu ke dalam kebahagiaan Illahi. Muncullah ekstase dariku, untukku, melampaui apa yang menjadi milikku, menutupi segalanya, rasa yang mustahil untuk diungkapkan. Tanpa telinga, tanpa kata-kata, tanpa huruf kudengar seruan: ‘irji’ –“kembalilah!”

Aku mencoba berpikir, “keadaan apa ini?” Pikiranku tak dapat menjawabnya. Aku akhirnya menyadari, akal tidak dapat menjangkau rahasia suci. Bahkan, pengetahuan itu dirampas dariku secepat ia datang kepadaku.

Wahai penuntut ilmu, yang kupaparkan di sini tidaklah dimaksudkan untuk menunjukkan saya tahu. Karenanya, hal itu hanya akan kalian ketahui setelah aku pergi dari tengah-tengah kalian. Demi kepentingan para pencari kebenaran, para pecinta yang merindukan Sang Kekasih, mudah-mudahan pengetahuan itu membantu mereka mengenali diri mereka sendiri, agar mereka menemukan, di dalam kota-kota yang telah kutelusuri, hakikat diri mereka, dan penduduk di dalamnya yang menjadi sahabat mereka. Ketika –dan jika di dalam keikhlasan- mereka mengetahui tempat mereka, mereka akan berbuat menurutnya, dan mengetahui arah pintu ridha Allah, dan bersyukur. Semoga mereka akan mengenang faqir ini, penulis karya ini, di dalam sekelumit doa :
“Mudah-mudahan Allah mencurahkan rahmatNya kepada Syekh Muhammad Shadiq Naqsyabandi Ezinjani, penulis asli karya ini, dan kepada orang-orang yang membacanya.” Al Fathihah.

Tinggalkan komentar